Minggu, 15 Juli 2012

Membangun Optimisme Masa Depan Secara Benar

Indonesia pernah mengalami tragedi sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan yang dasyat ketika terjadi krisis 1998. Padahal, hanya dalam jarak beberapa tahun sebelumnya, Indonesia mencanangkan diri akan segera "tinggal landas" (take off). Bahkan, media massa internasional pun memasukkan Indonesia menjadi salah satu macan Asia. Optimisme yang berbunga-bunga ini tidak menjadi kenyataan. Sebaliknya, yang terjadi adalah kehancuran di nyaris semua bidang kehidupan. Indonesia menjadi bangsa paria yang dinista dimana-mana. Mengapa optimisme itu runtuh dan berubah menjadi tragedi yang memilukan? Karena segala kemajuan dan kemakmuran tersebut hanya semu adanya. Semua hal yang tampaknya hebat ternyata amat rapuh, karena dibangun di atas dasar yang sangat keropos (hutang luar negeri yang tidak terkendali, ketidakadilan, ketidakbenaran, keserakahan, kekuasaan tanpa kontrol, dan pembungkaman setiap orang yang berani mengkritik). Ironisnya, sebagian besar lembaga-lembaga agama di Indonesia umumnya justru ikut mendukung dan mengamini optimisme tersebut, tentu dengan bermacam ragam teologi yang ditawarkannya. Hanya sebagian kecil lembaga agama yang berani menyuarakan suara kritisnya. Itu menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga-lembaga atau agama-agama tersebut, termasuk kita telah gagal menyuarakan suara kenabian.

Dalam lingkup yang lebih kecil, dalam kehidupan sehari-hari, kita juga sering mengalami kenyataan-kenyataan pahit, padahal sebelumnya kita memiliki optimisme yang luar biasa. Mengapa demikian? Bukankah seringkali karena optimisme tersebut debangun di atas dasar yang rapuh dan keropos, sehingga menjadi optimisme yang semu?

Lalu, dimana peran agama? Agama mestinya berperan meletakkan dasar-dasar yang kokoh, kuat, dan sejati, atas optimisme yang dibangunnya, yaitu kehidupan yang bermiral dan beretika, sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun, harus diakui, tidaak jarang para pemuka agama telah ikut serta membutakan hati nurani umat, sehingga demi menyenangkan umat, kebenaran Tuhan disembunyikan dari hadapan umat. Terkadang, setelah tragedi itu terjadi, para pemuka agama mengatakan, "Ini adalah ujian bagi iman kita, cobaan atas kesetiaan kita". Ini adalah mekanisme bela diri yang ganjil. Tidak satu kali pun ada seruan untuk melakukan pertobatan bersama. Itu artinya, setelah tragedi terjadi, pengakuan dosa pun tidak pernah terbesit dalam khasanah berteologi. Maka, tidak heran, tragedi demi tragedi yang sama dalam kehidupan manusia, seperti komedi putar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar