Gedung Agung yang riuh rendah oleh tepuk tangan dan sorak-sorai kekaguman pada seseorang pembicara di seminar itu, tidak juga mempengaruhi diamnya lelaki itu. Lelaki yang kenyang akan kehidupan dan pendidikan itu hanya tersenyum saat ditanya kenapa tidak masuk ke dalam. "..aku duduk di luar saja dik..". Tatap redupnya mengisyaratkan dia ingin menempatkan dirinya pada garis marginal pemahaman makna hidup yang sebenarnya. Untuk menutup kebuntuan komunikasi, maka saya mengajaknya ngobrol-ngobrol ini-itu. "Aku sudah lama tidak punya rasa dan asa dik, karena aku sudah boleh dibilang kenyang untuk hal yang dibicarakan di dalam itu", begitu lirihnya seperti diucapkan untuk dirinya sendiri. Kemudian dia bercerita tentang temannya yang menjadi pembicara di dalam gedung itu, jauh waktu dahulu bagaimana dia merekomendasikan sehingga temannya bisa menjadi 'orang' seperti sekarang ini. Tetapi setelah sekian tahun, dia mendapati temannya itu berubah. Memang waktu dapat merubah sesuatu, walaupun bukan waktu yang merubah melainkan apa yang terjadi selama kurun waktu itu yang sebenarnya merubah. Typologinya sama seperti kedewasaan yang dipengaruhi oleh waktu, walaupun bukan waktu yang mendewasakannya, melainkan apa yang terjadi selama kurun waktu itu yang memberikan pengaruh kedewasaannya.
Begitu tenang dan jelas laki-laki itu bercerita panjang lebar, tetapi raut wajahnya sempat menunjukkan keterkejutannya manakala dari ruang seminar terdengar temannya memberikan sedikit wejangan kepada yang hadir: ...sebaiknya dalam kehidupan ini bersikaplah biasa saja, tetapi kita tetap harus bisa "bermain cantik". Boleh saja kita punya idealisme, tetapi jangan jadikan diri kita korban idealisme. Sebab, bagaimanapun idealisme itu kan juga butuh 'perut', iya khan?! Saya mulai menduga, mungkin bagi laki-laki itu kalimat yang diucapkan temannya itu tidak lebih dari style orang kuat yang sedang berkuasa. Baginya, idealisme merupakan sebuah keteguhan akan hal yang diyakini sebagai kebenaran.
Kebenaran?? Sesuatu hal yang sulit dicari di jaman ini. Kalau pembenaran, banyak!! Mungkin yang kita butuhkan hanya setetes kebenaran. Namun pengharapan akan setetes kebenaran bukan perkara yang mudah, mungkin seperti sesulit menetaskan telur dalam dingin angin. Pengharapan akan kebenaran mungkin hanya akan mendapati kebohongan manakala harus melewati episode-episode konspirasi haram. Kebenaran hanyalah sebuah keniscayaan belaka, manakala kepalsuan dan kemunafikan bersenyawa dengan nurani yang beku kalau tidak boleh disebut mati. Padahal nurani yang beku tidak akan menyisakan satu lekukpun untuk disinggahi aliran kebenaran, meski hanya satu tetespun. Oleh sebab itulah terkadang kebenaran sering bermanifestasi oase yang diperebutkan di gurun kehidupan yang maha penuh tipu daya.
Mungkin banyak orang yang mengatakan kebenaran bukanlah sebuah nilai yang harus dipaksakan. Mungkin banyak orang lebih mendahulukan kebaikan dulu, baru kebenaran. Ya, saya tahu, karena mereka memang telah terbiasa menciptakan kebenaran-kebenaran prematur yang terlahir sungsang. Tetapi, mana ada kebenaran yang sungsang? Kebenaran pasti meninggalkan rahim nurani secara wajar.
Dahulu, kata laki-laki itu, temannya yang menjadi pembicara di seminar itu juga seorang yang vokal. Ditentangnya korupsi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya. Namun, setelah dia bekerja dan menjadi "orang kuat", suara-suaranya hilang lenyap. Ketika mendapat proyek, diambilnya sekian prosen dari dana itu. Tidak jarang laki-laki itu menasehati temannya agar menghentikan perbuatan dosa itu. Namun temannya selalu beralasan macam-macam: aku sedang butuh, ini mumpung ada kesempatan, aku juga perlu merenovasi rumah, perlu ganti mobil juga.
"Kamu tahu dik,.. ternyata temanku melakukan sesuatu yang lebih parah dari apa yang pernah ditentangnya dahulu. Instansi dan institusi tidak dapat menjamin perilaku seseorang. Terbukti idealismenya ternyata tidak mampu membantu saat dia terdesak. Pengkhianatan, kecurangan, perjudian intelektual, dan kebohongan dihadirkan untuk menyelamatkan dirinya dari keadaannya..."
Benar juga kata laki-laki itu. Dalam perjalanan pulang, saya yakin bahwa idealisme yang merupakan sebuah keteguhan jiwa, hanyalah milik orang-orang yang sudah mengerti makna dan arah kehidupan. Juga satu hal: adakah malu yang lebih besar selain malu dari seorang yang mengkritik kecurangan, kebohongan, tetapi ternyata ia sendiri hidup, dibesarkan dan mengabdi pada kecurangan dan kebohongan ini?!
LITBANG - P. J.